buku tamu

Kamis, 12 April 2012

Adat Budaya Minang

Perkawinan Eksogami

Perkawinan Eksogami menurut ajaran Islam sebagai agama satu-satunya yang dianut orang Minang dikatakan bahwa ada 3 hal yang mutlak hanya diketahui dan ditentukan Tuhan untuk masing-masing kita. Pertama adalah umur kita sebagai manusia. Tidak seorangpun tahu kapan dia akan mati. Kedua adalah rezeki. Sebagai manusia kita hanya dituntut berikhtiar dan berusaha namun berapa rezeki yang akan diberikan kepada kita secara mutlak ditentukan oleh Tuhan. Ketiga adalah jodoh. Apapun upaya yang dilakukan oleh anak manusia, bagaimanapun cintanya dia kepada seseorang, kalau Tuhan tidak mengizinkan, perkawinan tidak akan terlaksana.

Sebaliknya kalau memang jodohnya, kenal dua minggupun, perkawinan dapat terjadi. Karena itu sebagai orang Islam kita hanya senantiasa berdoa semoga dipanjangkan umurnya, diberi rezeki yang banyak dan dientengkan jodohnya, disamping tetap berusaha mencari pasangan hidupnya.

Sekalipun demikian masyarakatpun mempunyai peranan yang besar dalam penetapan jodoh. Dalam masyarakat Jawa misalnya, pemilihan jodoh hampir tidak ada pembatasan. Namun perkawinan antara saudara sekandung tetap tidak diperbolehkan.

Pada tiap masyarakat, orang memang harus kawin diluar batas suatu lingkungan tertentu. Perkawinan diluar batas tertentu ini disebut dengan istilah "eksogami".

Istilah eksogami ini mempunyai pengertian yang sangat nisbi (relatif). Pengertian diluar batas lingkungan bisa diartikan luas namun bisa pula sangat sempit.

Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat kalau orang dilarang kawin dengan saudara-saudara kandungnya, maka kita sebut "eksogami keluarga batih". Kalau orang dilarang kawin dengan semua orang yang mempunyai marga "marga" yang sama, disebut "eksogami marga". Kalau orang dilarang kawin dengan orang yang berasal dari "nagari" yang sama, kita sebut dengan "eksogami nagari".

Adat Minang menentukan bahwa orang Minang dilarang kawin dengan orang dari suku yang serumpun. Oleh karena garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis ibu, maka suku serumpun disini dimaksudkan "serumpun menurut garis ibu", maka disebut "eksogami matrilokal atau eksogami matrilinial".

Dalam hal ini para ninik-mamak, alim ulama, cendekiawan, para pakar adat dan pecinta adat Minang dituntut untuk memberikan kata sepakat mengenai rumusan (definisi) pengertian kata serumpun ini yang akan diperlakukan dalam perkawinan di Minang kabau. Apakah "serumpun" itu sama dengan "samande", "saparuik", "sajurai", "sasuku", ataukah "sasuduik".

Pengamatan kami membuktikan bahwa pengertian "serumpun" ini tidak sama di Minangkabau. Bahkan dalam satu nagari saja, pengertian ini tidak sama, sehingga sangat membingungkan masyarakat awam, apalagi generasi muda Minangkabau.

Di nagari kubang di Luhak 50-Kota misalnya, pengetian serumpun disamakan dengan "sasuduik". Yang dimaksudkan dengan "sasuduik" adalah satu kelompok dari beberapa "suku". Misalnya "Suduik nan 5", terdiri dari 5 (lima) buah suku yaitu suku Jambak, suku Pitopang, suku Kutianyir, suku Salo dan suku Banuhampu.

Kelima buah suku ini dianggap serumpun, sehingga antara kelima buah suku itu tidak boleh dilakukan perkawinan. Kalau sampai terjadi bisa "dibuang sepanjang adat" karena dianggap perkawinan "endogami" atau perkawinan didalam rumpun sendiri, yang berlawanan dengan prinsip "eksogami" yang dianut di Minangkabau.

Tapi pengertian "sarumpun" sama dengan "sasuduik" ini tidak konsisten pula, sebab ternyata perkawinan sesama anggota dari "suduik nan 6" dan sama-sama berasal dari suku "Caniago" dan dalam nagari yang sama, malah diperbolehkan. Pengertian "serumpun" yang tidak konsisten semacam ini, jelas akan sangat membingungkan anak kemenakan di Minangkabau dalam memahami adat perkawinan di Minangkabau.

Pengertian serumpun yang tidak sama ini juga merupakan penghalang dalam mencari jodoh. Semakin luas atau semakin banyak suku yang terhimpun dalam "serumpun" semakin "sempit" arena perburuan mencari jodoh. Hal ini berakibat makin lama, makin sulit bagi muda-mudi mencari pasangan dalam lingkungan masyarakatnya sendiri. Misalnya bagi muda-mudi dari sudut nan 5 diatas, sangat musykil mencari jodoh di nagari Kubang itu. Ini adalah suatu realita yang dapat dibuktikan. Akibatnya banyak yang kawin ke luar "nagari", bahkan sudah ada yang sampai ke luar negeri.

Kami tidak mengatakan bahwa hal ini menunjukkan gejala yang baik, atau tidak baik, tetapi sekedar menunjukkan bahwa prinsip "eksogami matrilinial" akan mandek sendiri, bila pengertian serumpun tidak segera direvisi dan diperkecil dari pengertian umum yang ada sekarang. Hal ini perlu segera dilakukan bila kita ingin melestarikan prinsip-prinsip pokok adat perkawinan Minangkabau khususnya.




Sumber : http://adat-budaya-minang.blogspot.com
Komentar : 
saya tidak mengerti tentang adat budaya minang mengenai masalah eksogami ini, jujur saja saya pun keturunan minang juga. Dan memang yang saya tau dari orang tua saya ,bahwa jika saya sudah beranjak dewasa dan berniat untuk menikah dengan salah seorang pria yang juga merupakan keturunan minangkabau tidak diperbolehkan menikah masih dalam satu suku yang sama dari suku ibu, sayapun juga masih bertanya-tanya mengapa seperti itu ???  yang saya tau dalam Islam yang dilarang untuk dinikahi adalah saudara sekandung dan anak sesusu ibu, kalau hanya satu suku kan tidak punya ikatan darah yah, jadi kenapa dilarang ?? kalau seperti ini mempersulit jodoh namanya,,hehe ..
Tapi apa boleh buat kalau sudah adatnya seperti itu ikuti saja, tapi saya masih tetep percaya Jodonya saya ditangan Allah SWT siapun itu orangnya, berasal darimana, dan sesuku dengan saya atau tidak hanya Allah Yang  Maha Tahu.. :)

Ilmu Budaya Dasar

Budaya Mencontek

Seorang sosiolog berceramah diantara sentilan-sentilan yang mewarnai ceramahnya itu, ia bercerita tentang pengalamannya ketika berkunjung ke Monash University di Amerika Serikat beberapa tahun silam. Darohim tertarik dengan budaya anti menyontek yang menjadi prinsip para mahasiswa dan pelajar di Amerika, terutama di kampus Monash University. Dan teman yang mengajaknya berkunjung ke Monash, Darohim mendapat penjelasan bahwa “Dalam sejarah program pascasarjana di Monash, hanya terjadi satu kasus menyontek. Ternyata mahasiswa yang menyontek itu berasal dari Indonesia.” Sebagai hukumannya, mahasiswa program magister asal Indonesia itu dikeluarkan secara tidak terhormat dari  Monash University. Sungguh memalukan.
Contek menyontek jelas budaya buruk yang mesti segera dieliminir dalam praktik pendidikan dimanapun. Tapi sayangnya, virus budaya ini seperti sangat sulit untuk dibasmi, di Indonesia apalagi di tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, menyontek tetap diandalkan sebagian pelajar dan mahasiswa untuk mendapatkan nilai lebih baik dari kemampuan yang dimilikinya. “ini berkaitan dengan budaya pelajar Indonesia yang masih memandang nilai dan ijazah sebagai orientasi belajar mereka”.
Jelas, secara psikologis, perilaku menyontek mencerminkan sikap tak percaya diri yang salah satu penyebabnya karena tak siap menempuh ujian. “Kepercayaan diri muncul karena adanya persiapan,” Tapi yang jelas, menyontek adalah sebuah kecurangan yang jika dipelihara akan tumbuh menjadi sebuah kejahatan. Tengok saja praktik menyontek yang terkadang dibuat secara sistematis. Misalnya, pembocoran soal ujian Sipenmaru (UMPTN) atau EBTANAS (Ujian Nasional) yang dilakukan oleh ‘orang dalam’ atau bahkan oleh guru. Mereka memanfaatkan peluang budaya curang yang melekat di kalangan para siswa kita. Parahnya lagi, ketika seorang siswà atau mahasiswa mendapat prototipe soal yang diujikan atau bahkan jawaban soal-soal itu, bukan rasa malu yang muncul, melainkan rasa bangga karena mendapat bocoran soal-soal ujian itu.
Meskipun terkadang praktik menyontek dilakukan dengan alasan pembenaran seperti, “Menyontek untuk membantu orang tua sebab jika tak lulus kasihan orang tua yang telah membiayai pendidikan”, menyontek tetap tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Seorang yang terbiasa menyontek di masa-masa awal sekolah dasar, akan terus membawa kebiasaan itu di masa pertumbuhan, bahkan hingga masa dewasanya jika tak ada perubahan yang betul-betul radikal dalam kehidupannya, misalnya pertobatan yang timbul setelah peristiwa hidup yang dianggap revolusioner dalam dirinya. Intinya, kebiasaan menyontek memupuk mental curang, tak percaya diri, oportunis dan mau enaknya sendiri.
Salah satu contoh ringan terjadi disebuah press room (ruang wartawan) di sebuah lembaga pemerintah yang sangat strategis. Peristiwa ini terjadi beberapa tahun yang silam, tapi kemungkinan besar masih terjadi hingga sekarang dan juga di press room-press room lain. Dengan tanpa beban, reporter-reporter yang terlambat datang dan tak mendapat momentum peristiwa wawancara dengan menteri yang memimpin lembaga itu meminta salinan transkrip wawancara singkat yang diperbanyak di press room itu kepada rekan-rekan mereka. Hasilnya dibawa pulang ke kantor seolah-olah hasil usahanya sendiri. Padahal??? Atau praktik plagiat yang masih saja terjadi, bahkan dilakukan oleh manusia sekelas dosen yang menjiplak karya orang lain demi sebuah gelar. Dua kasus itu hanya sedikit dan mental yang diturunkan dan kebiasaan menyontek. Perilaku contek-menyontek hanyalah secuil catatan dalam dunia pendidikan di Indonesia yang tampaknya sepele tapi menyimpan bahaya yang jika tak segera diantisipasi akan semakin memperparah kualitas mental manusia Indonesia yang sekarang ini semakin bertambah nilai merahnya.
Kasus Monash tadi mungkin bisa dijadikan pelajaran sangsi bagi pelajar atau mahasiswa yang tertangkap basah atau terbukti menyontek hanya satu, dikeluarkan. Meskipun tak akan menghapus kikis praktik menyontek, paling tidak menanamkan suatu prinsip penegakan hukum yang jelas untuk tidak melakukannya. Atau mekanisme-mekanisme teknis dalam ujian yang perlu dikembangkan agar tidak ada sama sekali peluang menyontek, baik itu menyontek kepada teman seruang atau membuka catatan yang tidak diizinkan untuk dibuka selama ujian berlangsung. Sebuah pekerjaan rumah yang patut untuk mendapatkan perhatian besar dan kalangan pendidik kita.

Dipostkan oleh : http://edukasi.kompasiana.com

Komentar :
Kasus Monash University tadi memang sebuah perilaku yang sangat membuat malu pelajar Indonesia yang sedang menuntut ilmu di luar negeri. Untuk apa belajar jauh-jauh sampe keluar negeri kalau tidak bisa mandiri, menyontek itu membuat kita jadi tidak mandiri terlebih lagi membuat kita jadi gak PD atau gak percaya dengan kemampuan diri kita sendiri. Memang tidak dapat dipungkiri dari dulu zaman - zamannya mencontek tidak dapat dimusnahkan atau dihilangkan khususnya untuk kalangan pelajar dari kalangan SD hingga kalangan Mahasiswa. Seketat apapun pengawasan saat ujian berlangsung pasti ada saja yang masih bisa menyontek, entah menyontek pada temannya ataupun mengeluarkan sebuah catatan kecil yang sudah dipersiapkan sebelum ujian berlangsung. Menyontek pada dasarnya terjadi karena kondisi yang mendesak, mungkin karena belum ada persiapan belajar. Kalau saja sebelumnya kita belajar dan berdoa serta percaya dengan kemampuan diri sendiri pasti kita bisa mengerjakan ujian tanpa harus menyontek. Dampak menyontek itu banyak sekali salah satunya dapat merugikan diri sendiri, dengan nyontek kita jadi malas belajar, menyepelekan pelajaran, dan gak akan menambah pengetahuan serta wawasan kita. Untuk apa mendapatkan nilai bagus kalau dapatnya dari hasil menyontek, dijamin gak akan ada kepuasan sendiri dari hasil menyontek. Mulailah merubah perilaku kebiasaan menyontek dari diri sendiri, jika kita memaksimalkan usaha kita apapun dapat kita raih tanpa harus menyontek, wawasan dan pengetahuan kita dapat bertambah dan juga mendapatkan kepuasan dari hasil usaha diri sendiri.

 

Selasa, 10 April 2012

Malaikat Cinta

Aku selalu mengharapkan
Kehadiran kekasih yang selalu
Memberikan kebahagiaan
Kepada diriku...

Dirimu hadir disaat aku
Membutuhkan sesosok malaikat
Yang bisa temaniku
Disisiku disaat ku terjatuh

Kau malaikat cintaku
Temani aku saat sepi
Berikan aku suasana baru
Berikan aku kebahagiaan
Dan kedamaian jiwa

Hanya dengan bersamamu
Ku dapatkan kebahagianku
Seperti yang mereka dapatkan
Karena kau malaikat cintaku



                                           by : hardika putriyani
 

Ilmu Budaya Dasar

Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Ilmu Budaya Dasar 

Secara sederhana IBD adalah pengetahuan yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang diekembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan kebudayaan. Istilah IBD dikembangkan petama kali di Indonesia sebagai pengganti istilah basic humanitiesm yang berasal dari istilah bahasa Inggris “the Humanities”. Adapun istilah humanities itu sendiri berasal dari bahasa latin humnus yang astinya manusia, berbudaya dan halus. Dengan mempelajari th humanities diandaikan seseorang akan bisa menjadi lebih manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus. Dengan mempelajari the humanities diandaikan seseorang akan bisa menjadi lebih manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa the humanities berkaitan dengan nilai-nilai manusia sebagai homo humanus atau manusia berbudaya. Agar manusia menjadi humanus, mereka harus mempelajari ilmu yaitu the humanities disamping tidak meninggalkan tanggungjawabnya yang lain sebagai manusia itu sendiri.
Untuk mengetahui bahwa ilmu budaya dasar termasuk kelompok pengetahuan budaya lebih dahulu perlu diketahui pengelompokan ilmu pengetahuan. Prof Dr.Harsya Bactiar mengemukakan bahwa ilmu dan pengetahuan dikelompokkan dalam tiga kelompok besar yaitu :
1.Ilmu-ilmu Alamiah ( natural scince ). Ilmu-ilmu alamiah bertujuan mengetahui keteraturan-keteraturan yang terdapat dalam alam semesta. Untuk mengkaji hal ini digunakan metode ilmiah. Caranya ialah dengan menentukan hokum yang berlaku mengenai keteraturan-keteraturan itu, lalu dibuat analisis untuk menentukan suatu kualitas. Hasil analisis ini kemudian digeneralisasikan. Atas dasar ini lalu dibuat prediksi. Hasil penelitian 100 5 benar dan 100 5 salah
2.Ilmu-ilmu sosial ( social scince ) . ilmu-ilmu sosial bertujuan untuk mengkaji keteraturan-keteraturan yang terdapat dalam hubungan antara manusia. Untuk mengkaji hal ini digunakan metode ilmiah sebagai pinjaman dari ilmu-ilmu alamiah. Tapi hasil penelitiannya tidak 100 5 benar, hanya mendekati kebenaran. Sebabnya ialah keteraturan dalam hubungan antara manusia initidak dapat berubah dari saat ke saat.
3.Pengetahuan budaya ( the humanities ) bertujuan untuk memahami dan mencari arti kenyataan-kenyataan yang bersifat manusiawi. Untuk mengkaji hal ini digunakan metode pengungkapan peristiwa-peristiwa dan kenyataan-kenyataan yang bersifat unik, kemudian diberi arti.
Pengetahuan budaya (the humanities) dibatasi sebagai pengetahuan yang mencakup keahlian (disilpin) seni dan filsafat. Keahlian inipun dapat dibagi-bagi lagi ke dalam berbagai hiding keahlian lain, seperti seni tari, seni rupa, seni musik,dll. Sedangkan ilmu budaya dasar (Basic Humanities) adalah usaha yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan kebudayaan. Dengan perkataan lain IBD menggunakan pengertian-pengertian yang berasal dari berbagai bidang pengetahuan budaya untuk mengembangkan wawasan pemikiran serta kepekaan mahasiswa dalam mengkaji masalah masalah manusia dan kebudayaan.
Ilmu budaya daar berbeda dengan pengetahuan budaya. Ilmu budaya dasar dalam bahasa Ingngris disebut basic humanities. Pengetahuan budaya dalam bahas inggris disebut dengan istilah the humanities. Pengetahuan budaya mengkaji masalah nilai-nilai manusia sebagai mahluk berbudaya (homo humanus). Sedangkan ilmu budaya dasar bukan ilmu tentang budaya, melainkan mengenai pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan budaya.
Tujuan Ilmu Budaya Dasar
Penyajian mata kuliah ilmu budaya dasar tidak lain merupakan usaha yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan kebudayaan. Dengan demikian mata kuliah ini tidak dimaksudkan untuk mendidik ahli-ahli dalam salah satu bidang keahlian yang termasuk didalam pengetahuan budaya (the humanities) akan tetapi IBD semata-mata sebagai salah satu usaha untuk mengembangkan kepribadian mahasiswa dengan cara memperluas wawasan pemikiran serta kemampuan kritikalnya terhadap nilai-nlai budaya, baik yang menyangkut orang lain dan alam sekitarnya, maupun yang menyangkut dirinya sendiri. Untuk bisa menjangkau tujuan tersebut IBD diharapkan dapat :
1.Mengusahakan kepekaan mahasiswa terhadap lingkungan budaya, sehingga mereka lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, terutama untuk kepentingan profesi mereka
2.Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk memperluas pandangan mereka tentang masalah kemansiaan dan budaya serta mengembangkan daya kritis mereka terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut kedua hal tersebut.
3.Mengusahakan agar mahasiswa, sebagai calon pemimpin bagnsa dan Negara serta ahli dalam bidang disiplin masing-masing tidak jatuh ke dalam sifat-sifat kedaerahan dan pengkotakan disiplin yang ketat
4.menguasahakan wahana komunikasi para akademisi agar mereka lebih mampu berdialog satu sama lain. Dengan memiliki satu bekal yang sama, para akademisi diharapkan akan lebih lancer dalam berkomunikasi.
Ruang Lingkup Ilmu Budaya Dasar
Bertitik tolak dari kerangka tujuan yagn telah ditetapkan, dua masalah pokok bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan ruang lingkup kajian mata kuliah IBD. Kedua masalah pokok itu adalah :
1.Berbagai aspek kehidupan yang seluruhnya merupakan ungkapan masalah kemanusiaan dan budaya yang dapat didekati dengan menggunakan pengetahuan budaya (the humanities), baik dari segi masing-masing keahlian (disiplin) didalam pengetahuan budaya, maupun secara gabungan (antar bidang) berbagai disiplin dalam pengetahuan budaya
2.Hakekat manusia yang satu atau universal, akan tetapi yang beraneka ragam perwujudannya dalam kebudayaan masing-masing jaman dan tempat.
Menilik kedua pokok masalah yang bisa dikaji dalam mata kuliah IBD, nampak dengan jelas bahwa manusia menempati posisi sentral dalam pengkajian. Manusia tidak hanya sebagai obyek pengkajian. Bagaimana hubungan manusia dengan alam, dengan sesame, dirinya sendiri, nilai-nilai manusia dan bagaimana pula hubungan dengan sang pencipta menjadi tema sentral dalam IBD. Pokok-pokok bahasan yang dikembangkan adalah :
1.Manusia dan cinta kasih
2.Manusia dan Keindahan
3.Manusia dan Penderitaan
4.Manusia dan Keadilan
5.Manusia dan Pandangan hidup
6.Manusia dan tanggungjawab serta pengabdian
7.Manusia dan kegelisahan
8.Manusia dan harapan
sumber  : http://massofa.wordpress.com

Etika dan Profesionalisme TSI (Teknologi Sistem Informasi)

Pengertian dan Jenis Etika Etika dan Profesionalisme TSI terdiri dari tiga kata, yakni etika, profesionalisme, dan TSI.  Pertama adalah...