Budaya Mencontek
Seorang sosiolog berceramah diantara
sentilan-sentilan yang mewarnai ceramahnya itu, ia bercerita tentang
pengalamannya ketika berkunjung ke Monash University di Amerika Serikat
beberapa tahun silam. Darohim tertarik dengan budaya anti menyontek
yang menjadi prinsip para mahasiswa dan pelajar di Amerika, terutama di
kampus Monash University. Dan teman yang mengajaknya berkunjung ke
Monash, Darohim mendapat penjelasan bahwa “Dalam sejarah program
pascasarjana di Monash, hanya terjadi satu kasus menyontek. Ternyata
mahasiswa yang menyontek itu berasal dari Indonesia.” Sebagai
hukumannya, mahasiswa program magister asal Indonesia itu dikeluarkan
secara tidak terhormat dari Monash University. Sungguh memalukan.
Contek menyontek jelas budaya buruk yang mesti
segera dieliminir dalam praktik pendidikan dimanapun. Tapi sayangnya,
virus budaya ini seperti sangat sulit untuk dibasmi, di Indonesia
apalagi di tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, menyontek
tetap diandalkan sebagian pelajar dan mahasiswa untuk mendapatkan nilai
lebih baik dari kemampuan yang dimilikinya. “ini berkaitan dengan
budaya pelajar Indonesia yang masih memandang nilai dan ijazah sebagai
orientasi belajar mereka”.
Jelas, secara psikologis, perilaku menyontek
mencerminkan sikap tak percaya diri yang salah satu penyebabnya karena
tak siap menempuh ujian. “Kepercayaan diri muncul karena adanya
persiapan,” Tapi yang jelas, menyontek adalah sebuah kecurangan yang
jika dipelihara akan tumbuh menjadi sebuah kejahatan. Tengok saja
praktik menyontek yang terkadang dibuat secara sistematis. Misalnya,
pembocoran soal ujian Sipenmaru (UMPTN) atau EBTANAS (Ujian Nasional)
yang dilakukan oleh ‘orang dalam’ atau bahkan oleh guru. Mereka
memanfaatkan peluang budaya curang yang melekat di kalangan para siswa
kita. Parahnya lagi, ketika seorang siswà atau mahasiswa mendapat
prototipe soal yang diujikan atau bahkan jawaban soal-soal itu, bukan
rasa malu yang muncul, melainkan rasa bangga karena mendapat bocoran
soal-soal ujian itu.
Meskipun terkadang praktik menyontek dilakukan
dengan alasan pembenaran seperti, “Menyontek untuk membantu orang tua
sebab jika tak lulus kasihan orang tua yang telah membiayai
pendidikan”, menyontek tetap tidak bisa dibenarkan dengan alasan
apapun. Seorang yang terbiasa menyontek di masa-masa awal sekolah
dasar, akan terus membawa kebiasaan itu di masa pertumbuhan, bahkan
hingga masa dewasanya jika tak ada perubahan yang betul-betul radikal
dalam kehidupannya, misalnya pertobatan yang timbul setelah peristiwa
hidup yang dianggap revolusioner dalam dirinya. Intinya, kebiasaan
menyontek memupuk mental curang, tak percaya diri, oportunis dan mau
enaknya sendiri.
Salah satu contoh ringan terjadi disebuah press
room (ruang wartawan) di sebuah lembaga pemerintah yang sangat
strategis. Peristiwa ini terjadi beberapa tahun yang silam, tapi
kemungkinan besar masih terjadi hingga sekarang dan juga di press
room-press room lain. Dengan tanpa beban, reporter-reporter yang
terlambat datang dan tak mendapat momentum peristiwa wawancara dengan
menteri yang memimpin lembaga itu meminta salinan transkrip wawancara
singkat yang diperbanyak di press room itu kepada rekan-rekan mereka.
Hasilnya dibawa pulang ke kantor seolah-olah hasil usahanya sendiri.
Padahal??? Atau praktik plagiat yang masih saja terjadi, bahkan
dilakukan oleh manusia sekelas dosen yang menjiplak karya orang lain
demi sebuah gelar. Dua kasus itu hanya sedikit dan mental yang
diturunkan dan kebiasaan menyontek. Perilaku contek-menyontek hanyalah
secuil catatan dalam dunia pendidikan di Indonesia yang tampaknya
sepele tapi menyimpan bahaya yang jika tak segera diantisipasi akan
semakin memperparah kualitas mental manusia Indonesia yang sekarang ini
semakin bertambah nilai merahnya.
Kasus Monash tadi mungkin bisa dijadikan pelajaran
sangsi bagi pelajar atau mahasiswa yang tertangkap basah atau terbukti
menyontek hanya satu, dikeluarkan. Meskipun tak akan menghapus kikis
praktik menyontek, paling tidak menanamkan suatu prinsip penegakan
hukum yang jelas untuk tidak melakukannya. Atau mekanisme-mekanisme
teknis dalam ujian yang perlu dikembangkan agar tidak ada sama sekali
peluang menyontek, baik itu menyontek kepada teman seruang atau membuka
catatan yang tidak diizinkan untuk dibuka selama ujian berlangsung.
Sebuah pekerjaan rumah yang patut untuk mendapatkan perhatian besar dan
kalangan pendidik kita.
Dipostkan oleh : http://edukasi.kompasiana.com
Komentar :
Kasus Monash University tadi memang sebuah perilaku yang sangat membuat malu pelajar Indonesia yang sedang menuntut ilmu di luar negeri. Untuk apa belajar jauh-jauh sampe keluar negeri kalau tidak bisa mandiri, menyontek itu membuat kita jadi tidak mandiri terlebih lagi membuat kita jadi gak PD atau gak percaya dengan kemampuan diri kita sendiri. Memang tidak dapat dipungkiri dari dulu zaman - zamannya mencontek tidak dapat dimusnahkan atau dihilangkan khususnya untuk kalangan pelajar dari kalangan SD hingga kalangan Mahasiswa. Seketat apapun pengawasan saat ujian berlangsung pasti ada saja yang masih bisa menyontek, entah menyontek pada temannya ataupun mengeluarkan sebuah catatan kecil yang sudah dipersiapkan sebelum ujian berlangsung. Menyontek pada dasarnya terjadi karena kondisi yang mendesak, mungkin karena belum ada persiapan belajar. Kalau saja sebelumnya kita belajar dan berdoa serta percaya dengan kemampuan diri sendiri pasti kita bisa mengerjakan ujian tanpa harus menyontek. Dampak menyontek itu banyak sekali salah satunya dapat merugikan diri sendiri, dengan nyontek kita jadi malas belajar, menyepelekan pelajaran, dan gak akan menambah pengetahuan serta wawasan kita. Untuk apa mendapatkan nilai bagus kalau dapatnya dari hasil menyontek, dijamin gak akan ada kepuasan sendiri dari hasil menyontek. Mulailah merubah perilaku kebiasaan menyontek dari diri sendiri, jika kita memaksimalkan usaha kita apapun dapat kita raih tanpa harus menyontek, wawasan dan pengetahuan kita dapat bertambah dan juga mendapatkan kepuasan dari hasil usaha diri sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar