buku tamu

Kamis, 12 April 2012

Ilmu Budaya Dasar

Budaya Mencontek

Seorang sosiolog berceramah diantara sentilan-sentilan yang mewarnai ceramahnya itu, ia bercerita tentang pengalamannya ketika berkunjung ke Monash University di Amerika Serikat beberapa tahun silam. Darohim tertarik dengan budaya anti menyontek yang menjadi prinsip para mahasiswa dan pelajar di Amerika, terutama di kampus Monash University. Dan teman yang mengajaknya berkunjung ke Monash, Darohim mendapat penjelasan bahwa “Dalam sejarah program pascasarjana di Monash, hanya terjadi satu kasus menyontek. Ternyata mahasiswa yang menyontek itu berasal dari Indonesia.” Sebagai hukumannya, mahasiswa program magister asal Indonesia itu dikeluarkan secara tidak terhormat dari  Monash University. Sungguh memalukan.
Contek menyontek jelas budaya buruk yang mesti segera dieliminir dalam praktik pendidikan dimanapun. Tapi sayangnya, virus budaya ini seperti sangat sulit untuk dibasmi, di Indonesia apalagi di tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, menyontek tetap diandalkan sebagian pelajar dan mahasiswa untuk mendapatkan nilai lebih baik dari kemampuan yang dimilikinya. “ini berkaitan dengan budaya pelajar Indonesia yang masih memandang nilai dan ijazah sebagai orientasi belajar mereka”.
Jelas, secara psikologis, perilaku menyontek mencerminkan sikap tak percaya diri yang salah satu penyebabnya karena tak siap menempuh ujian. “Kepercayaan diri muncul karena adanya persiapan,” Tapi yang jelas, menyontek adalah sebuah kecurangan yang jika dipelihara akan tumbuh menjadi sebuah kejahatan. Tengok saja praktik menyontek yang terkadang dibuat secara sistematis. Misalnya, pembocoran soal ujian Sipenmaru (UMPTN) atau EBTANAS (Ujian Nasional) yang dilakukan oleh ‘orang dalam’ atau bahkan oleh guru. Mereka memanfaatkan peluang budaya curang yang melekat di kalangan para siswa kita. Parahnya lagi, ketika seorang siswà atau mahasiswa mendapat prototipe soal yang diujikan atau bahkan jawaban soal-soal itu, bukan rasa malu yang muncul, melainkan rasa bangga karena mendapat bocoran soal-soal ujian itu.
Meskipun terkadang praktik menyontek dilakukan dengan alasan pembenaran seperti, “Menyontek untuk membantu orang tua sebab jika tak lulus kasihan orang tua yang telah membiayai pendidikan”, menyontek tetap tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Seorang yang terbiasa menyontek di masa-masa awal sekolah dasar, akan terus membawa kebiasaan itu di masa pertumbuhan, bahkan hingga masa dewasanya jika tak ada perubahan yang betul-betul radikal dalam kehidupannya, misalnya pertobatan yang timbul setelah peristiwa hidup yang dianggap revolusioner dalam dirinya. Intinya, kebiasaan menyontek memupuk mental curang, tak percaya diri, oportunis dan mau enaknya sendiri.
Salah satu contoh ringan terjadi disebuah press room (ruang wartawan) di sebuah lembaga pemerintah yang sangat strategis. Peristiwa ini terjadi beberapa tahun yang silam, tapi kemungkinan besar masih terjadi hingga sekarang dan juga di press room-press room lain. Dengan tanpa beban, reporter-reporter yang terlambat datang dan tak mendapat momentum peristiwa wawancara dengan menteri yang memimpin lembaga itu meminta salinan transkrip wawancara singkat yang diperbanyak di press room itu kepada rekan-rekan mereka. Hasilnya dibawa pulang ke kantor seolah-olah hasil usahanya sendiri. Padahal??? Atau praktik plagiat yang masih saja terjadi, bahkan dilakukan oleh manusia sekelas dosen yang menjiplak karya orang lain demi sebuah gelar. Dua kasus itu hanya sedikit dan mental yang diturunkan dan kebiasaan menyontek. Perilaku contek-menyontek hanyalah secuil catatan dalam dunia pendidikan di Indonesia yang tampaknya sepele tapi menyimpan bahaya yang jika tak segera diantisipasi akan semakin memperparah kualitas mental manusia Indonesia yang sekarang ini semakin bertambah nilai merahnya.
Kasus Monash tadi mungkin bisa dijadikan pelajaran sangsi bagi pelajar atau mahasiswa yang tertangkap basah atau terbukti menyontek hanya satu, dikeluarkan. Meskipun tak akan menghapus kikis praktik menyontek, paling tidak menanamkan suatu prinsip penegakan hukum yang jelas untuk tidak melakukannya. Atau mekanisme-mekanisme teknis dalam ujian yang perlu dikembangkan agar tidak ada sama sekali peluang menyontek, baik itu menyontek kepada teman seruang atau membuka catatan yang tidak diizinkan untuk dibuka selama ujian berlangsung. Sebuah pekerjaan rumah yang patut untuk mendapatkan perhatian besar dan kalangan pendidik kita.

Dipostkan oleh : http://edukasi.kompasiana.com

Komentar :
Kasus Monash University tadi memang sebuah perilaku yang sangat membuat malu pelajar Indonesia yang sedang menuntut ilmu di luar negeri. Untuk apa belajar jauh-jauh sampe keluar negeri kalau tidak bisa mandiri, menyontek itu membuat kita jadi tidak mandiri terlebih lagi membuat kita jadi gak PD atau gak percaya dengan kemampuan diri kita sendiri. Memang tidak dapat dipungkiri dari dulu zaman - zamannya mencontek tidak dapat dimusnahkan atau dihilangkan khususnya untuk kalangan pelajar dari kalangan SD hingga kalangan Mahasiswa. Seketat apapun pengawasan saat ujian berlangsung pasti ada saja yang masih bisa menyontek, entah menyontek pada temannya ataupun mengeluarkan sebuah catatan kecil yang sudah dipersiapkan sebelum ujian berlangsung. Menyontek pada dasarnya terjadi karena kondisi yang mendesak, mungkin karena belum ada persiapan belajar. Kalau saja sebelumnya kita belajar dan berdoa serta percaya dengan kemampuan diri sendiri pasti kita bisa mengerjakan ujian tanpa harus menyontek. Dampak menyontek itu banyak sekali salah satunya dapat merugikan diri sendiri, dengan nyontek kita jadi malas belajar, menyepelekan pelajaran, dan gak akan menambah pengetahuan serta wawasan kita. Untuk apa mendapatkan nilai bagus kalau dapatnya dari hasil menyontek, dijamin gak akan ada kepuasan sendiri dari hasil menyontek. Mulailah merubah perilaku kebiasaan menyontek dari diri sendiri, jika kita memaksimalkan usaha kita apapun dapat kita raih tanpa harus menyontek, wawasan dan pengetahuan kita dapat bertambah dan juga mendapatkan kepuasan dari hasil usaha diri sendiri.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dan Profesionalisme TSI (Teknologi Sistem Informasi)

Pengertian dan Jenis Etika Etika dan Profesionalisme TSI terdiri dari tiga kata, yakni etika, profesionalisme, dan TSI.  Pertama adalah...